Kamis, 16 Juni 2011

Pernyataan Sikap Umat Islam Indonesia tentang Bahaya Syi'ah(Kutipan Lengkap)

PERNYATAAN SIKAP BERSAMA AHLUSSUNNAH INDONESIA Kami Ahlussunnah Indonesia menyatakan sikap bersama tentang keberadaan Syi’ah Imamiyyah Itsna ’Asyariyyah di Indonesia sebagai berikut: MENIMBANG 1. Ajaran Ahlussunnah adalah Ajaran dan jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan Sahabatnya hingga hari kiamat. (Qs An-Nisa’ 115 dan Al-Hasyr 7) 2. Siapapun yang tidak sesuai dan bahkan menyelisihi Ahlussunnah wal Jama’ah, berarti menyelisihi kebenaran, maka dia tersesat. (Qs. Yunus: 32 dan Al-An’am 55) 3. Ahlussunnah meyakini bahwa Al-Qur’anul Karim adalah Kitab yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetap terjaga dari penambahan dan penguranganhingga hari kiamat (Qs Al-Hijr 9). Sedangkan Syi’ah meyakini bahwa Al- Qur’an yang ada terdapat pengurangan dan tidak otentik. Ulama besar Syi’ah Husein bin Muhammad Taqi An Nuri At Tabarsi dalam kitabnya “Fashlul Khithob fi Itsbat Tahrif Kitab Rabbil arbab” berkata: “Ahlun Naqli Wal Atsar dari kalangan khusus (Syi’ah) dan umum (Ahlussunnah) sepakat bahwa Al-Qur’an yang di tangan umat Islam saat ini bukanlah Al-Qur’an seutuhnya”. Dan Al-Qur’an versi Syi’ah disebut dengan mushhaf Fathimah berjumlah 17.000 ayat dan akan dibawa oleh Imam Mahdi (Al-Kafi juz, 2 hal. 597, cet Beirut dan Faslul Khithab hal 235). 4. Syi’ah menyelisihi Ahlussunnah dalam rukun iman. Ahlussunnah meyakini Rukun Iman ada Enam yaitu Iman kepada Allah, Iman kepada Malaikat, Iman Kitabkitab Allah, Iman kepada para Rasul Allah, Iman kepada Hari Kebangkitan, dan Iman kepada Qadar-Nya, baikataupun buruk. Sedangkan Syi’ah meyakini bawa Rukun Iman ada 5 yaitu At Tauhid, An-Nubuwwah, Al- Imamah, Al-Adl, Al-Ma’ad. 5. Syi’ah menyelisihi Ahlussunnah dalam rukun Islam. Ahlussunnah meyakini Rukun Islam ada 5 yaitu dua kalimat Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji. Sedangkan Syi’ah meyakini bawa Rukun Islam ada 5 yaitu Shalat,Puasa, Zakat, Haji, dan wilayah, bahkan Al- wilayah lebih utama di banding rukun Islam lainnya dalam kitab Ushul Kafi. 6. Ahlussunnah telah sepakat bahwaManusia yang terbaik dari umat ini setelah Rasulullah adalah Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq dan Sayyidina Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sedangkan menurut Syi’ah mereka berdua adalah kafir dan dilaknat oleh Allah, para malaikat dan manusia. (Al-Kafi juz 8 hal. 246, Haqqul Yaqin hal. 367 dan 519) 7. Ahlussunnah sepakat bahwa Mut’ah hukumnya Haram. Sedang Syi’ah menghalalkan Mut’ah. 8. Ahlussunnah meyakini bahwa ‘Ishmah (kema’shuman) hanya dimiliki oleh para Nabi dan Rasul. Sedangkan Syi’ah meyakini bahwa ‘Ishmah juga dimiliki oleh para Imam yang dua belas mereka. 9. Syi’ah Imamiyyah Itsna ‘Asyariyah telah berdusta atas nama ahlul bait dalam hal menetapkan pokok- pokok ajaran. 10. Ahlussunnah di mata orang Syi’ah adalah kafir (Murtad), anak zina, halal darah dan hartanya. 11. Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H./ Maret 1984 M merekomendasikan tentang faham Syi’ah sebagai berikut: Faham Syi’ah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan- perbedaanpokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia. Mengingat perbedaan- perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah” (pemerintahan)”, Majelis Ulama Indonesia mengimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah. 12. Surat Edaran Departemen Agama Nomor D/ BA.01/4865/1983, tanggal 5 Desember 1983 perihal “Hal Ikhwal Mengenai Golongan Syi’ah.” 13. Pada poin ke-5 tentang Syi’ah Imamiyah (yang di Iran dan juga merembes ke Indonesia, red) disebutkan sejumlah perbedaannya dengan Islam. Lalu dalam Surat Edaran Departemen Agama itu dinyatakan sbb: “Semua itu tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaranIslam yang sesungguhnya. Dalam ajaran Syi’ah Imamiyah pikiran tak dapat berkembang, ijtihad tidak boleh. Semuanya harus menunggu dan tergantung pada imam. Antara manusia biasa dan Imam ada gap atau jarak yang menganga lebar, yang merupakan tempat subur untuk segala macam khurafat dan takhayul yang menyimpang dari ajaran Islam.” (Surat Edaran Departemen Agama No: D/ BA.01/4865/1983, Tanggal: 5 Desember 1983, Tentang: Hal Ikhwal Mengenai Golongan Syi’ah, butir ke 5). MENYATAKAN Berdasarkan pertimbangan- pertimbangan di atas dan pandangan dari para narasumber, yang mewakili ormas-ormas Islam, mengambil kesimpulan dan menyatakan bahwa: 1. Ahlussunnah tidak dapat dipersatukan dengan Syi’ah, karena berbeda dalam Ushuluddin (Aqidah/Tauhid). 2. Syi’ah berbahaya bagi agama, bangsa dan negara. 3. Mendesak MUI untuk mengeluarkan fatwa lagi tentang sesatnya Syi’ah secara tegas. 4. Mendesak Pemerintah agar melarangSyi’ah dan aktivitasnya di seluruh wilayah Indonesia, agar tidak timbul konflik seperti di Irak, Yaman, Pakistan dan Negara lain. 5. Kami Ahlussunnah (Muslimin Indonesia) sangat menolak keras MUHSIN (Forum Ukhuwah Sunni- Syi’ah Indonesia) yang digagas beberapa waktu yang lalu oleh aktivis-aktivis Syi’ah dan oknum yang mengatasnamakan Muslimin Indonesia di Jakarta. Jakarta, Jum’at 8 Rajab 1432 H/10 Juni 2011 AHLUSSUNNAH INDONESIA Yang Membuat Pernyataan, PP Muhammadiyah (Agus Tri Sundani) Nahdlatul ‘Ulama (M. Idrus Ramli) Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) (Amlir Syaifa Yasin) Badan Kerjasama Pondok Pesantren se- Indonesia (BKSPPI) (KH. A. Cholil Ridwan, Lc.) Persis (Persatuan Islam) (Tiar Anwar Bakhtiar) Perhimpunan Al-Irsyad (Aminullah) Al-Bayyinat (Achmad Zein Alkaf) Lembaga Tarbiyah Islamiyyah (Arif Munandar R.) Gema Salam (Abdurrahman Humaidan) Pemuda Al-Irsyad Al- Islamiyah (Fahmi.B.) Hidayatullah (P Gadiman Djojonegoro) Harakah Sunniyyah untuk Masyarakat Islami (HASMI (Aby Fadel) KOEPAS (M Rizal.S) PP. Jum’iyyah An-Najat (Muhammad Faisal, S Pd. M.MPd) PP. Jam’iyah Ukhuwah Islamiyah (Abdul Malik Akbar) Wahdah Islamiyyah Robithoh‘Alawiyyah Forum Kajian Aliran Agama (FKAA) Bandung.

SHALAT WANITA & KEKHUSUSANNYA DIBANDING LAKI-LAKI

SHALAT WANITA & KEKHUSUSANNYA DIBANDING LAKI-LAKI

Oleh : Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan

Adzan dan Iqomah
Tidak disyariatkan bagi kaum wanita untuk melaksanakan adzan dan iqamat baik di dalam perjalanan ataupun tidak. Adzan dan iqamat merupakan hal yang dikhususkan bagi kaum pria sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Qudamah di dalam kitabnya Al Mughni mengatakan, "Dalam perkara ini sepengetahuanku tidak ada perbedaan pendapat antar ulama."

Pakaian Wanita Ketika Sholat
Tubuh wanita seluruhnya aurat kecuali wajahnya. Tentang kedua telapak tangannya dan kedua kakinya terdapat perbedaan pendapat. Itu semua dalam kondisi tidak dilihat lelaki yang bukan mahramnya. Apabila dilihat olehnya maka wajib baginya menututpi dirinya seperti halnya di luar sholat, ia wajib menutupi dirinya dari pandangan lelaki. Di dalam sholatnya wanita harus menutupi kepala, leher, dan bagian-bagian tubuh lainnya hingga punggung kedua telapak kakinya.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, "Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haidh (baligh) kecuali bila ia mengenakan kerudung (dalam shalatnya)”. (HR. Abu Dawud no. 641 dan selainnya dari hadits Aisyah) [1]

Ummu Salamah Radhiallahu’anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam: “Apakah wanita boleh shalat dengan mengenakan baju kurung dan kerudung?” Beliau Shallallahu’alaihi wasallam menjawab, “(Boleh), jika baju kurung itu luas/lapang hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya”. (HR. Abu Dawud no. 640) [2]

Dua hadits di atas menunjukkan bahwa wanita dalam sholatnya harus menutupi kepala dan lehernya sebagaimana yang dapat disimpulkan dari hadits ‘Aisyah. Dan menutup bagian-bagian lain dari tubuhnya hingga punggung kedua tela[ak kakinya sebagaimana yang dapat disimpulkan dari hadits Ummu Salamah. Dan dibolehkan ia membuka wajahnya manakala tidak dilihat oleh lelaki yang bukan mahramnya berdasarkan ijma' para ulama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata dalam majmu' al-Fatawa (XXII/113-114), "Wanita jika sholat sendirian ia diperintahkan berkerudung. Di rumahnya, di luar sholat, ia boleh membuka kepalanya. Maka mengenakan kesempurnaan pakaian yang hal itu adalah perhiasan dalam sholat adalah kewajiban yang harus dilakukan serang hamba kepada Allah Ta'ala. Oleh sebab itu tidak boleh seseorang thawaf seputar Ka'bah dengan tanpa busana meskipun sendirian di waktu malam. Tidak boleh ia sholat tanpa busana meskipun sendirian."

Selanjutnaya beliau mengatakan, "Aurat di dalam sholat tidak ada kaitannya dengan aurat pandangan baik langsung maupun tidak langsung."

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (II/238) mengatakan, "Wanita merdeka wajib menutup seluruh tubuhnya dalam sholat. Jika tersingkap satu bagian saja dari tubuhnya maka tidak sah sholatnya kecuali hanya sedikit. Imam Malik, al-Auza'i dan asy-Syafi'i juga berpendapat demikian.

Imam Wanita Dalam Sholat Bersama Wanita
Wanita dalam sholat berjamaah sesama wanita diimami oleh salah seorang dari mereka. Dalam perkara ini ada perbedaan pendapat antara para ulama. Ada yang melarang dan ada yang membolehkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu tidak mengapa berdasarkan hadits, bahwasanya nabi Shallallah'alaihi wasallam menyuruh Ummu Waraqah untuk mengimami keluarganya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa itu tidak disunnahkan. Sebagian mereka berpendapat bahwa hal itu makruh. Sebagian lagi berpendapat bahwa itu boleh dalam sholat sunnat, bukan dalam sholat fardhu. Barangkali pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum sholat berjama'ah bagi kaum wanita dengan diimami oleh salah seorang diantara mereka adalah mustahab (disukai). Wanita yang menjadi imam dalam sholat berjama'ah ini harus mengeraskan suaranya saat membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang tidak terdengar oleh kaum pria yang bukan mahramnya.

Keluarnya Wanita Untuk Ikut Sholat Berjamaah di Masjid
Dibolehkan bagi wanita keluar rumah untuk sholat berjamaah di masjid bersama kaum lelaki. Sedang sholat wanita di rumah adalah lebih baik. Dalam Shahih Muslim

إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا

“Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke masjid maka janganlah ia melarangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 873 dan Muslim no. 442)

Dan beliau Shallallahu'alaihi wasallam menyatakan:

لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَََََََ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ

“Janganlah kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 900 dan Muslim no. 442)

Mereka menetap dan sholat di rumah mereka itu lebih utama bagi mereka demi menutup diri.

[Dinukil dari kitab Tanbihat 'ala Ahkam Takhtash bil Mukminat, Penulis Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan, Edisi Indonesia Sentuhan Nilai Kefiqihan Untuk Wanita Beriman, Diterbitkan oleh Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta, hal. 52-55]

____________
Footnote:
[1] Tambahan dari admin blog Sunniy Salafy: Hadits ‘Aisyah ini kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah dalam At-Talkhisul Habir (2/460) dianggap cacat oleh Ad-Daraquthni karena mauquf-nya (hadits yang berhenti hanya sampai shahabat), sedangkan Al-Hakim menganggapnya mursal (hadits yang terputus antara tabi’in dan Rasulullah). (Faidah dari artikel berjudul Pakaian Wanita Dalam Shalat, Penulis Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah, sumberhttp://asysyariah.com/)

[2] Tambahan dari admin blog Sunniy Salafy: Hadits Ummu Salamah ini tidak shahih sanadnya baik secara marfu’ maupun mauquf karena hadits ini berporos pada Ummu Muhammad bin Zaid, sementara dia rawi yang majhul (tidak dikenal). Demikian diterangkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 161.

Walaupun demikian, ada riwayat-riwayat yang shahih dari para shahabat dalam pemasalahan ini sebagaimana akan kita baca berikut ini.

Abdurrazzaq Ash-Shan‘ani Rahimahullah meriwayatkan dari jalan Ummul Hasan, ia berkata: “Aku melihat Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu’alaihi wasallam shalat dengan mengenakan dira‘ dan kerudung.” (Al-Mushannaf, 3/128)5.

Ubaidullah Al-Khaulani, anak asuh Maimunah mengabarkan bahwa Maimunah shalat dengan memakai dira` dan kerudung tanpa izar. (Diriwayatkan oleh Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf)

Masih ada atsar lain dalam permasalahan ini yang kesemuanya menunjukkan shalatnya wanita dengan mengenakan dira‘ (baju kurung) dan kerudung adalah perkara yang biasa dan dikenal di kalangan para shahabat, dan ini merupakan pakaian yang mencukupi bagi wanita untuk menutupi auratnya di dalam shalat.

Bila wanita itu ingin lebih sempurna dalam berpakaian ketika shalat maka ia menambahkan izar atau jilbab pada dira‘ dan kerudungnya. Dan ini yang lebih sempurna dan lebih utama, kata Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah. Dengan dalil riwayat dari Umar ibnul Khaththab Radhiallahu’anhu, ia berkata: “Wanita shalat dengan mengenakan tiga pakaian yaitu dira‘, kerudung dan izar. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dengan isnad yang shahih, lihat Tamamul Minnah, hal. 162).

Jumhur ulama sepakat, pakaian yang mencukupi bagi wanita dalam shalatnya adalah dira‘ dan kerudung. (Bidayatul Mujtahid, hal. 100).

Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan: “Disenangi bagi wanita untuk shalat mengenakan dira` yaitu pakaian yang sama dengan gamis hanya saja dira` ini lebar dan panjang menutupi sampai kedua telapak kaki, kemudian mengenakan kerudung yang menutupi kepala dan lehernya, dilengkapi dengan jilbab yang diselimutkan ke tubuhnya di atas dira`. Demikian yang diriwayatkan dari ‘Umar, putra beliau (Ibnu ‘Umar), ‘Aisyah, Ubaidah As-Salmani dan ‘Atha. Dan ini merupakan pendapatnya Al-Imam Asy-Syafi`i Rahimahullah, beliau berkata: “Kebanyakan ulama bersepakat untuk pemakaian dira` dan kerudung, bila menambahkan pakaian lain maka itu lebih baik dan lebih menutup.” (Al-Mughni, 1/351)

Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata: “Disenangi bagi wanita untuk shalat dengan mengenakan tiga pakaian, dira`, kerudung dan jilbab yang digunakan untuk menyelubungi tubuhnya atau kain sarung di bawah dira` atau sirwal (celana panjang yang sangat lapang dan lebar) karena lebih utama daripada sarung. Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu berkata: "Wanita shalat dengan mengenakan dira`, kerudung dan milhafah." ‘Aisyah Radhiallahu’anhu pernah shalat dengan mengenakan kerudung, izar dan dira`, ia memanjangkan izar-nya untuk berselubung dengannya. Ia pernah berkata: "Wanita yang shalat harus mengenakan tiga pakaian bila ia mendapatkannya yaitu kerudung, izar dan dira`." (Syarhul ‘Umdah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 4/322) (Faidah dari artikel berjudul Pakaian Wanita Dalam Shalat, Penulis Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah, sumber http://asysyariah.com/)


http://sunniy.wordpress.com/2009/10/12/sholat-wanita-dan-kekhususannya-dibanding-laki-laki/#more-1070

Sumber link Asli : notes al akh : Haruka أم هريرة Teno
http://www.facebook.com/note.php?note_id=164252649538&ref=nf

Rabu, 15 Juni 2011

Untuk mu yang tak mengenal arti kata bersyukur saat mempunyai orang tua yang masih hidup

kadang aku heran dengan seorang ANAK yang TEGA MENINGGALKAN ORANGTUANYA.
KADANG AKU HERAN dengan seorang ANAK YANG MENYIA2KAN ORANG TUANYA
masya ALLAH
sungguh
TAUKAH DIA RASANYA KEHILANGAN ORANG TUA?
TAUKAH??
TAUKAH??
RASANYA KEHILANGAN SEORANG AYAH?
TAUKAH?
TAUKAH?
SAAT MELIHAT SESEORANG ANAK KECIL MEMINTA DI GENDONG OLEH AYAHNYA
ENTAH KENAPA AKU SELALU IRI
TERAMAT IRI
SANANGAT IRI
KARENA
Pada saat itu aku harus
mendorong kursi roda
karena ayah ku LUMPUH
saat teman2 sebaya ku meminta ini dan itu
sedangkan aku apabila mau meminta
aku tak tega
karena apa? SEMUA UANG YANG DI PAKAI UNTUK PENGOBATAN AYAH KU
sungguh
pernahkah kau mengenal arti kata "BERSYUKUR?"
TAPI, KAU PERLU TAU KAWAND
meskipun ayah ku lumpuh
meskipun ayahku sakit
meskipun ayahku tak berdaya
meskipun semua itu tidak mungkin
DIA MASIH MENCINTAI ANAK2nya
dia masih masih menyayangi anak2nya
sungguh
aku sangat mencintainya
teramat sangat
mencintai ia karena ALLAH
KAU TAU?
AYAH KU MEMBERIKAN AKU CONTOH
KAU TAU?
AYAHKU LUMPUH
LUMPUH KAKINYA
ANGGOTA BADAN BAGIAN SEBELAH KIRI LUMPUH TOTAL
TAPI KAU TAU KAWAND?
DIA SENANTIASA SOLAT DI MASJID 5 WAKTU!
SUNGGUH
AKU YAG SELALU MENEMANI NYA
MENUGGUI ia

MEMAKAIKAN SEPATUNYA
Menuntutnya berjalan

KAU TAU?

SAMPAI LUMPUH BEGITU PUN

DIA TAK PERNAH PUTUS HARAPAN
ATAUpun
TIDAK MENSYUKURI SEGALA KENIKAMATAN YANG TELAH ALLAH BERIKAN
KAU TAU?

AKU SANGAT MENCINTAINYA

SAMPAI KAPAN PUN
AKU MENCINTAINYA KARENA ALLAH
DAN DIA BERHASIL MENJADI AYAH YANG BAIK
YA
DIA BERHASIL MENJADI AYAH YANG BAIK
KARENA IA BANYAK MEMBERKAN CONTOH DAN TELADAN
KEPADA KU


SUNGGUH



AKU MENCITAI MU KARENA ALLAH PAPA




KAU TAU KAWAND!
aku tak sampai hati setiap kali melihat ada seorang ANAK KABUR DARI RUMAH HANYA KARENA MASALAH SEPELE
bisakah ia memikirkan dampak dari yang dia TIMBULKAN?
APALAGI JAUH DARI ORANG TUA
YA ALLAH
JANGAN SAMPAI AKU MENDURHAKAI IBU DAN AYAH KU
yang SUDAH SUSAH PAYAH MERAWAT DIRIKU HINGGA KINI















kawand
aku hanya punya satu buah nasehat untuk mu
"BERBAKTILAH SELAGI KAMU BISA BERBAKTI" karena kita tak kan pernah tau KEMATIN ITU DATANGNYA KAPAN?
KITA TAK KAN PERNAH TAU
MUNGKIN
SAAT KITA pulang KERJA

atau PULANG sekolah
kita melihat

JENAZAH AYAH ATAU IBU KITA
DAN KITA TERLAMBAT MENYADARINYA BETAPA KITA SERING MEMBANGKANG TIDAK MEMATUHI SETIAP PERKATAAN MEREKA

APA KAU TAU RASANYA?

MENYESAL!
dan
kau tau!
PENYESALAN ITU KINI DATANG TERLAMBAT
KARENA APA?

KARENAKAU MELIHATAYAH ATAU IBUMU TRBUJUR KAKU
DINGIN
DAN TIDAK BERNYAWA





SUNGGUH
KAU PASTI AKAN SANGAT MENYESAL
TERUTAMA
UNTUK MU YANG MEMBANGKANG!










Oleh :


:FITRI KURNIA HANDAYANI:
:FiKurHan:
:Sang Penuntut Ilmu:

Jumat, 06 Mei 2011

NIKAHI LAH AKU,,TAPI DENGAN SYARAT TIDAK BERPOLIGAMI -__-"

Pertanyaan:

Assalamu'alaykum Warohmatulloh Wabarokatuh

Ustadz firanda yang semoga ustadz dan keluarga mendapat penjagaan dari Allah, ana seorang akhwat yang saat ini sedang melakukan proses ta'aaruf dengan seorang ikhwan yang menuntut ilmu di Universitas Islam Madinah. Pertanyaan ana, mungkin ustadz sudah bisa menebak dari judul/subject message ini, yaitu apa boleh menolak untuk dipoligami ? Apakah seorang wanita boleh memberi syarat kepada seorang lelaki yang hendak menikahinya agar tidak boleh berpoligami?


Ana selama mengaji hampir 2 tahun, mendapat salah satu kaidah yaitu : lebih diutamakan menolak mafsadah (kerusakan) daripada mendapat maslahat (manfaat)'. Ana, jujur merasa berat kalau nanti harus dipoligami ustadz. Tidak hanya masalah perasaan tapi juga dari pihak keluarga ana yang sangat memandang rendah terhadap laki-laki yang beristri lebih dari satu. Selain itu juga, ikhwan yang sedang berproses ta'aruf dengan ana juga belum punya pekerjaan alias hanya mengandalkan uang beasiswanya. Ana takut jika nanti ikhwan tersebut ada niatan untuk poligami dan nekat untuk menikah lagi padahal dari sisi dunia keluarga ana melihat belum mampu/miskin, keluarga besar ana akan melihat betapa jeleknya orang Islam yang hanya memikirkan syahwat dan syahwat tanpa memikirkan bagaimana menafkahi nanti. Ana bukanlah akhwat pondokan dengan background keluarga yang mengenal Islam dengan baik, saudara ana juga ada yang non-Islam. Ana dulu berkuliah dan mengaji di salafy sejak semester 6.


Mohon nasehat dari ustadz, wa Jazaakumullohu Khoyro.




Jawab :


Walaikum salam warahmatullahi wa barakaatuh. Dari pertanyaan di atas maka jelas bahwa ukhti yang bertanya paham betul akan disyari'atkannya poligami, dan merupakan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi pertanyaan ukhti; Bolehkah seorang wanita memberi persyaratan kepada calon suaminya agar tidak berpoligami?


Lantas apakah persayaratan seperti ini tidak melanggar syari'at?


Apakah sang suami kelak wajib memenuhi persyaratan seperti ini?, ataukah boleh melanggar janjinya untuk tidak berpoligami karena ada kemaslahatan yang lain?


Para pembaca yang dirahmati Allah, para ulama dalam buku-buku fikih mereka membedakan antara dua hal :


Pertama : Syarat-syarat sah nikah


Kedua : Syarat-syarat yang dipersyaratkan dalam nikah yang diajukan oleh salah satu dari dua belah pihak calon mempelai.


Adapun hal yang pertama yaitu tentang syarat-syarat sah nikah maka hal ini sudah ma'ruuf seperti : adanya wali dari pihak wanita, keridhoan dua belah pihak calon mempelai, adanya dua saksi, dan tidak adanya penghalang dari kedua belah pihak yang menghalangi pernikahan (seperti ternyata keduanya merupakan saudara sepersusuan, atau karena ada hubungan nasab yang menghalangi seperti ternyata sang wanita adalah putri keponakan calon suami, atau sang wanita adalah muslimah dan sang lelaki kafir, atau sang wanita adalah dari majusiyah, atau sang wanita masih dalam masa 'iddah, atau salah satu dari keduanya dalam kondisi muhrim, dll)


Namun bukan hal ini yang menjadi pembahasan kita, akan tetapi pembahasan kita adalah pada poin yang kedua yaitu tentang seroang wanita yang memberi persyaratan tatkala melangsungkan akad nikah dengan sang lelaki, atau sebaliknya.


Permasalahan ini merupakan salah satu cabang dari permasalahan utama yang diperselisihkan oleh para ulama, yaitu tentang persyaratan yang disyaratkan dalam 'akad-'akad, baik 'akad (transaksi) jual beli maupun 'akad pernikahan. Dan khilaf para ulama tentang hal ini telah dijelaskan dengan sangat panjang lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al-'Qowaa'id An-Nuurooniyah.


Akan tetapi pembicaraan kita terkhususkan kepada permasalahan yang ditanyakan, yaitu apakah boleh bagi sang wanita tatkala akan menikah memberi persyaratan agar sang lelaki tidak berpoligami?


Telah terjadi khilaf diantara para ulama dalam permasalahan ini sebagaimana berikut ini:


Madzhab Hanafi


Adapun Madzhab Hanafi maka mereka membolehkan persyaratan seperti ini. Jika seorang wanita diberi mahar oleh sang calon suami kurang dari mahar para wanita-wanita yang semisalnya menurut adat maka boleh bagi sang wanita untuk memberi persyaratan, seperti mempersyaratkan bahwa agar ia tidak dipoligami. Dan persyaratan ini diperbolehkan dan dianggap termasuk dari mahar karena ada nilai manfaat bagi sang wanita. Akan tetapi menurut madzhab Hanafi jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus membayar mahar wanita tersebut secara penuh sebagaimana mahar para wanita yang semisalnya menurut adat. (lihat Al-'Inaayah bi syarh Al-Hidaayah 5/10, fathul Qodiir 7/176 maktabah syamilah)


Madzhab Malikiah


Madzhab Maliki memandang bahwa persayaratan seperti ini merupakan persayaratan yang makruh. Dan madzhab Maliki memiliki perincian dalam permasalahan ini, sbb :

-         Persayaratan seperti ini makruuh, dan tidak lazin/harus untuk dipenuhi oleh sang calon suami.

-         Akan tetapi persayaratan ini wajib dipenuhi oleh sang suami jika persayaratannya disertai dengan sumpah dari sang calon suami

-         Jika persyaratan ini diajukan oleh sang wanita dengan menjatuhkan sebagian maharnya maka wajib bagi sang suami untuk memenuhinya. Misalnyan mahar nikah sang wanita adalah 20 juta, lantas sang wanita berkata, "Aku menjatuhkan 5 juta dari maharku dengan syarat sang lelaki tidak boleh berpoligami" lalu disetujui oleh sang lelaki maka wajib bagi sang lelaki untuk memenuhi persyaratan tersebut. Jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus membayar mahar 5 juta tersebut kepada sang wanita. (lihat perincian ini di At-Taaj wa Al-Ikliil 3/513)

-         Bahkan Imam Malik pernah ditanya tentang seorang wanita yang memberi persyaratan kepada calon suaminya, "Jika engkau berpoligami maka hak untuk bercerai ada padaku", kemudian sang lelakipun berpoligami, lantas sang wanitapun menjatuhkan cerai (talak) tiga. Akan tetapi sang suami tidak menerima hal ini dan menganggap hanya jatuh talak satu. Maka apakah jatuh talak tiga tersebut,?, Imam Malik menjawab : "Ini merupakan hak sang wanita, dan adapun pengingkaran sang suami maka tidak ada faedahnya" (lhat Al-Mudawwanah 2/75)


Madzhab As-Syafii


Madzhab As-Syafii membagi persyaratan dalam pernikahan menjadi dua, syarat-syarat yang diperbolehkan dan syarat-syarat yang dilarang.

Pertama : Adapun syarat yang diperbolehkan adalah syarat-syarat yang sesuai dengan hukum syar'i tentang mutlaknya akad, contohnya sang lelaki mempersyaratkan kepada sang wanita untuk bersafar bersamanya, atau untuk menceraikannya jika sang lelaki berkehendak, atau berpoligami. Sebaliknya misalnya sang wanita mempersyaratkan agar maharnya dipenuhi, atau memberi nafkah kepadanya sebagaimana nafkah wanita-wanita yang lainnya, atau mempersyaratkan agar sang lelaki membagi jatah nginapnya dengan adil antara istri-istrinya. Persyaratan seperti ini diperbolehkan, karena hal-hal yang dipersayratkan di atas boleh dilakukan meskipun tanpa syarat, maka tentunya lebih boleh lagi jika dengan persayaratan.


Kedua : Adapun persyaratan yang tidak diperbolehkan maka secara umum ada empat macam:


-         Persyaratan yang membatalkan pernikahan, yaitu persyaratan yang bertentangan dengan maksud pernikahan. Contohnya jika sang lelaki mempersayaratkan jatuh talak bagi sang wanita pada awal bulan depan, atau jatuh talak jika si fulan datang, atau hak talak berada di tangan sang wanita. Maka pernikahan dengan persayaratan seperti ini tidak sah.

-         Persyaratan yang membatalkan mahar akan tetapi tidak membatalkan pernikahan. Contohnya persyaratan dari pihak lelaki, misalnya sang wanita tidak boleh berbicara dengan ayah atau  ibunya atau kakaknya, atau sang lelaki tidak memberi nafkah secara penuh kepada sang wanita. Demikian juga persayaratan dari pihak wanita, misalnya : sang lelaki tidak boleh berpoligami atau tidak boleh mengajak sang wanita merantau. Maka ini seluruhnya merupakan persyaratan yang batil karena mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Dalam kondisi seperti ini maka batalah mahar sang wanita yang telah ditentukan dalam akad, dan jadilah mahar sang wanita menjadi mahar al-mitsl (yaitu maharnya disesuaikan dengan mahar para wanita-wanita yang semisalnya menurut adat istiadat).


-         Persyaratan yang hukumnya tergantung siapa yang memberi persayaratan. Misalnya persyaratan untuk tidak berjimak setelah nikah. Maka jika yang memberi persayratan tersebut adalah pihak wanita maka hal ini haram, karena jimak adalah hak sang lelaki setelah membayar mahar. Dan jika sebaliknya persayaratan tersebut dari pihak lelaki itu sendiri maka menurut madzhab As-Syafii hal tersebut adalah boleh

-         Persyaratan yang diperselisihkan oleh ulama madzhab As-Syafi'i, yaitu persyaratan yang berkaitan dengan mahar dan nafaqoh. Jika sang wanita mempersyaratkan agar tidak dinafkahi maka pernikahan tetap sah, karena hak nafkah adalah hak sang wanita. Akan tetapi persyaratan ini membatalkan mahar yang telah ditentukan, maka jadilah mahar sang wanita adalah mahar al-mitsl. Akan tetapi jika yang mempersyaratkan adalah dari pihak lelaki maka para ulama madzhab syafii berselisih pendapat. Ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya batil, dan ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya sah akan tetapi membatalkan mahar yang telah ditentukan bagi sang wanita sehingga bagi sang wanita mahar al-mitsl. (lihat Al-Haawi 9/506-508)


Madzhab Hanbali


Madzhab Hanbali membagi persyaratan dalam nikah menjadi tiga bagian;

Pertama : Persyaratan yang harus ditunaikan, yaitu persayaratan yang manfaatnya dan faedahnya kembali kepada sang wanita. Misalnya sang wanita mempersayatkan agar sang suami tidak membawanya merantau atau tidak berpoligami. Maka wajib bagi sang suami untuk memenuhi dan menunaikan persyaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikan syarat ini maka sang wanita berhak untuk membatalkan tali pernikahan. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Al-Khottoob, Sa'ad bin Abi Waqqoosh, Mu'aawiyah, dan 'Amr bin Al-'Aash radhiallahu 'anhum. (lihat Al-Mughni 7/448)

Kedua : Persyaratan yang batil dan membatalkan persyaratan itu sendiri akan tetapi pernikahan tetap sah, seperti jika sang lelaki mempersyaratkan untuk menikah tanpa mahar, atau tidak menafkahi sang wanita, atau sang wanitalah yang memberi nafkah kepadanya, atau ia hanya mendatangi sang wanita di siang hari saja. Dan demikian juga jika sang wanita mepersyaratkan untuk tidak digauli atau agar sang lelaki menjauhinya, atau agar jatah nginapnya ditambah dengan mengambil sebagian jatah istrinya yang lain. Maka seluruh persyaratan ini tidak sah dan batil (lihat Al-Mughni 7/449)

Ketiga : Persyaratan yang membatalkan akad nikah, seperti pernikahan mut'ah (nikah kontrak sementara setelah itu cerai), atau langsung dicerai setelah nikah, dan nikah syigoor, atau sang lelaki berkata, "Aku menikahi engkau jika ibumu merestui atau si fulan setuju". (lihat Al-Mughni 7/449)

Dari penjelasan di atas maka jelas bahwa empat madzhab seluruhnya memandang sahnya persyaratan tersebut dan sama sekali tidak merusak akad nikah. Khilaf hanya timbul pada hukum memberi persyaratan ini dari pihak wanita. Madzhab Hanafi dan Hanbali memandang bolehnya persayratatn ini. Madzhab Maliki  memandang makruhnya hal ini. Dan hukum makruh masih masuk dalam kategori halal. Adapun As-Syafii memandang bahwa persyaratan ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan, hanya saja jika terjadi maka persyaratan tersebut tetap tidak merusak akad nikah.


Dalil akan bolehnya persyaratan ini :

Para ulama yang memperbolehkan persyaratan agar sang suami tidak poligami, mereka berdalil dengan banyak dalil, diantaranya:

Pertama : Keumuman dalil-dalil yang memerintahkan seseorang untuk menunaikan janji atau kesepakatan. Seperti firman Allah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS Al-Maaidah :1)

Kedua : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ

"Syarat yang palih berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita)" (HR Al-Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418)

Dan persyaratan untuk tidak berpoligami merupakan persyaratan yang diajukan oleh sang wanita dalam akad nikahnya, sehingga wajib bagi sang lelaki untuk menunaikannya.

Ketiga : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

"Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka (tidak menyelishinya-pen), kecuali persyaratan yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram" (HR At-Thirimidzi no 1352 dan Abu Dawud no 3596 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Dan jelas bahwasanya seseroang yang menikah dan tidak berpoligami maka hal ini diperbolehkan dan tidak melanggar persyaratan. Maka jika perkaranya demikian berarti persyaratan untuk tidak berpoligami diperbolehkan dan harus ditunaikan oleh sang suami. Adapun persyaratan yang menghalalkan sesuatu yang haram maka tidak diperbolehkan, seperti seroang wanita yang menikah dengan mempersyaratkan agar calon suaminya menceraikan istri tuanya. Hal ini jelas diharamkan oleh syari'at.

Keempat : Hukum asal dalam masalah akad dan transaksi –jika diridhoi oleh kedua belah pihak- adalah mubaah hingga ada dalil yang mengaharamkan

Adapun dalil yang dijadikan hujjah oleh para ulama yang mengharamkan persyaratan ini adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ
"Barang siapa yang memberi persyaratan yang tidak terdapat di Kitab Allah maka persyaratan itu batil, meskipun ia mempersyaratkan seratus persyaratan" (HR Al-Bukhari no 2155 dan Muslim 1504)

Akan tetapi maksud dari sabda Nabi ini adalah persyaratan yang tidak dihalalkan oleh Allah. Karena konteks hadits ini secara lengkap menunjukan akan hal ini. Konteks hadits secara lengkap adalah sebagai berikut :

Aisyah berkata :

جَاءَتْنِي بَرِيْرَةُ فَقَالَتْ كَاتَبْتُ أَهْلِي عَلَى تِسْعِ أَوَاقٍ فِي كُلِّ عَامٍ وُقِيَّة فَأَعِيْنِيْنِي، فَقُلْتُ : إِنْ أَحَبَّ أَهْلُكِ أَنْ أُعِدَّهَا لَهُمْ وَيَكُوْنُ وَلاَؤُكِ لِي فَعَلْتُ. فَذَهَبَتْ بَرِيْرَةُ إِلَى أَهْلِهَا فَقَالَتْ لَهُمْ فَأَبَوْا ذَلِكَ عَلَيْهَا، فَجَاءَتْ مِنْ عِنْدِهِمْ وَرَسُوْل اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فَقَالَتْ : إِنّي قَدْ عَرَضْتُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ فَأَبَوْا إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ الْوَلاَءُ لَهُمْ. فَسَمِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْ عَائِشَةُ النَّبِيَّ صَلًَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : خُذيْهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمُ الْوَلاَءَ فَإِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ، فَفَعَلَتْ عَائِشَةُ ثُمَّ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّاسِ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ : أَمَّا بَعْدُ، مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللهِ مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَة شَرْطٍ، قَضَاءُ اللهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللهِ أَوْثَقُ وَإِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

"Bariroh (seorang budak wanita-pen) datang kepadaku dan berkata, "Aku telah membeli diriku (mukaatabah-pen) dengan harga Sembilan uuqiyah, dan setiap tahun aku membayar satu uqiyah (40 dirham), maka bantulah aku. Maka aku (Aisyah) berkata, "Jika tuanmu suka maka aku akan menyiapkan bayaran tersebut dengan wala'mu pindah kepadaku". Maka pergilah Bariroh kepada tuanya dan menyampaikan hal tersebut, akan tetapi mereka enggan dan bersikeras bahwasanya walaa'nya Bariroh tetap pada mereka. Maka Barirohpun kembali kepada Aisyah –dan tatkala itu ada Rasulullah sedang duduk-, lalu Bariroh berkata, "Aku telah menawarkan hal itu kepada mereka (tuannya) akan tetapi mereka enggan kecuali walaa'ku tetap pada mereka. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar hal itu (secara global-pen), lalu Aisyah mengabarkan perkaranya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka Nabi berkata, "Belilah Bariroh (untuk dibebaskan) dari mereka dan beri persyaratan kepada mereka tentang walaa'nya, karena walaa' adalah kepada orang yang membebaskan". Maka Aisyahpun melakukannya, lalu Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam berdiri di hadapan manusia lalu memuji Allah kemudian berkata, "Amma Ba'du, kenapa orang-orang memberi persyaratan-persyaratan yang tidak terdapat di kitab Allah (Al-Qur'an), maka persyaratan apa saja yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an maka merupakan persyaratan yang batil, meskipun seratus persayratan. Ketetapan Allah lebih berhak untuk ditunaikan, dan persyaratan Allah lebih kuat untuk diikuti, sesungguhnya walaa' hanyalah kepada orang yang membebaskan" (HR Al-Bukhari no 2168)

Maka jelaslah dari konteks hadits di atas bahwa yang dimaksud dengan persyaratan yang terdapat dalam kitab Allah adalah seluruh persyaratan yang diperbolehkan oleh Allah dan RasulNya, dan bukanlah maksudnya persyaratan yang termaktub dan ternashkan dalam Al-Qur'an. Karena permasalahan "Walaa' itu hanya kepada orang yang membebaskan" sama sekali tidak termaktub dalam Al-Qur'an, akan tetapi merupakan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Oleh karenanya persyaratan yang tidak diperbolehkan adalah persyaratan yang tidak terdapat dalam kitab Allah, yang maksudnya adalah seluruh perysaratan yang tidak disyari'atkan dan tidak diperbolehkan dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah.

Inti dalam masalah persyaratan baik dalam pernikahan maupun dalam akad-akad transaksi secara umum adalah : Seluruh persyaratan yang hukum asalnya adalah mubaah maka boleh dijadikan persayratan jika dirihdoi oleh kedua belah pihak. (lihat Al-Qowaad An-Nurroniyah hal 285)

Karenanya pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini –Wallahu A'lam- adalah pendapat madzhab Hambali, bahwasanya persyaratan tersebut diperbolehkan dan wajib untuk ditunaikan oleh suami jika menerima persyaratan tersebut. dan inilah yang telah dipilih oleh Ibnu Taimiyyah dalam Al-Qwaaid An-Nurroniyah dan juga Syaikh Al-Utsaimin (lihat As-Syarh Al-Mumti' 12/164, 167)


Kesimpulan :

Para ulama madzhab telah berselisih yang kesimpulannya sebagai berikut:

-                     Madzhab Hanbali membolehkan persyaratan seperti ini, dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan persyaratan tersebut. Dan persyaratan ini sama sekali tidak merusak akad nikah dan juga tidak merusak mahar.

-                     Adapun pendapat Madzhab Hanafi maka persyaratan ini diperbolehkan jika sang wanita menjatuhkan sebagian nilai maharnya. Dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan persayaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikannya maka sang wanita mendapatakan mahr al-mitsl

-                     Madzhab Maliki memandang persyaratan ini merupakan persyaratan yang makruh

-                     Adapun pendapat madzhab Syafii maka ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan. Akan tetapi jika terjadi maka persyaratan tersebut tidak merusak akad nikah, hanya saja merusak mahar yang telah ditentukan, sehingga mahar sang wanita nilainya berubah menjadi mahar al-mitsl.


Dari sini nampak bahwa jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa persyaratan seperti ini (agar sang suami tidak berpoligami) merupakan persayratan yang sah dan diperbolehkan. Akan tetapi yang perlu diperhatikan :

-         Hendaknya para lelaki yang hendak menikah untuk tidak mengajukan persyaratan ini tanpa dipersyaratkan oleh sang wanita, karena ini merupakan bentuk menjerumuskan diri dalam kesulitan.

-         Demikian juga jika sang wanita mempersyaratkan tidak poligami, maka hendaknya sang lelaki tidak langsung menerima, dan hendaknya ia berpikir panjang. Karena ia tidak tahu bagaimana dan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bisa saja nantinya sang wanita sakit sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri sebagaimana mestinya atau hal-hal lain yang nantinya memaksa dia untuk berpoligami. Dan hendaknya sang lelaki ingat bahwa jika ia menerima persyaratan tersebut maka hendaknya ia menunaikannya karena seorang mukmin tidak mengingkari janji dan tidak menyelisihi kesepakatan.

-         Hendaknya para wanita yang memberi persayratan ini jangan sampai terbetik dalam benaknya kebencian terhadap syari'at poligami, hendaknya ia tetap meyakini bahwa poligami adalah disyari'atkan dan mengandung banyak hikmah di balik itu.

-         Hendaknya para wanita tidaklah memberi persyaratan tersebut kecuali jika memang kondisinya mendesak, karena sesungguhnya dibalik poligami banyak sekali hikmah. Dan sebaliknya persyaratan seperti ini bisa jadi membawa keburukan. Bisa jadi sang wanita akhirnya memiliki anak banyak, dan telah mencapi masa monopuse, sedangkan sang suami masih memiliki syahwat dan ingin menjaga kehormatannya, namun akhirnya ia tidak bisa berpoligami. Maka jadilah sang lelaki membenci sang wanita namun apa daya ia tidak mampu untuk berpisah dari sang wanita mengingat kemaslahatan anak-anaknya.

-         Jika akhirnya sang lelaki berpoligami maka sang wanita diberi pilihan, yaitu menggugurkan persyaratannya tersebut dan menerima suaminya yang telah menyelisihi janji sehingga berpoligami ataukah sang wanita memutuskan tali akad pernikahan. Dan terputusnya tali pernikahan disini bukanlah perceraian, akan tetapi akad nikahnya batal. Sehingga jika sang wanita ingin kembali lagi ke suaminya maka harus dengan pernikahan yang baru.

Madinah, 16 05 1432 H / 20 04 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda

http://www.firanda.com/index.php/konsultasi/keluarga/161-nikahilah-aku-tapi-dengan-syarat-tidak-berpoligami#comment-1454

Langkah-Langkah Setan untuk Menjauhkan Penuntut Ilmu dari Ulama...

1. Berguru hanya kepada buku (otodidak) sehingga kehilangan suri tauladan.
Ulama salaf terdahulu melarang orang yang hanya berguru kepada buku untuk mengajar dan berfatwa, sebagaimana mereka melarang belajar al qur’an dari orang yang tidak pernah talaqqi.
Abu Zur’ah rahimahullah berkata: ”Shohafi (yang hanya berguru kepada buku) tidak boleh berfatw...a.” [Lihat Al-Faqih wal Mutafaqqih (II/97)]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: ”Barang siapa yang bertafaqquh dari perut buku ia akan menyia-nyiakan hukum.“ [Lihat Tadzkirat as-Saami’ wal Mutakallim (hal. 87)]
Seorang penya’ir berkata :
Siapa yang mengambil ilmu dari mulut guru
Ia akan terhindar dari penyimpangan dan perubahan.
Dan siapa yang mengambil ilmu hanya dari buku
Maka ilmunya disisi para ulama seperti tidak ada.
Dalam kitab Wafayatul A’yan (III/310) al-Hafidz Ibnu ‘Asakir rahimahullah bersya’ir :
Jadilah engkau orang yang mempunyai semangat
Dan jangan bosan mengambil ilmu dari para ulama
Jangan engkau mengambilnya sebatas dari buku
Niscaya engkau akan terkena tashif dengan penyakit yang berat

2. Tergesa-gesa mengajar sebelum menghasilkan ilmu yang cukup dengan alasan dakwah.
Dr. Nashir al-‘Aql berkata: ”Diantara kesalahan yang harus di peringatkan dalam masalah fiqih adalah memisahkan dakwah dari ilmu, dan ini lebih banyak ditemukan pada pemuda, mereka berkata, ”Berdakwah berbeda dengan menuntut ilmu." Oleh karena itu, kita dapati para pemuda sangat memperhatikan amaliyah dakwah, bahkan memberikan semua kesungguhannya, akan tetapi ia sangat sedikit dalam menghasilkan ilmu syar’iat, padahal kebalikannya itulah yang benar, hendaklah ia menuntut ilmu dan bertafaqquh dalam agama, menghasilkan ilmu-ilmu syari’at kemudian baru ia berdakwah." [Lihat Al-Fiqhu fid Diin (hal. 58)]Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata: ”Apabila orang yang dangkal ilmunya mengajar, ia akan terluput dari ilmu yang banyak.“ [Lihat Fathul Bari  (I/166)]
Imam asy-Syathibi rahimahullah berkata: ”Orang yang bertanya tidak boleh bertanya kepada orang yang jawabannya tidak bisa dianggap dalam syari’at, karena sama saja ia menyandarkan kepada orang yang bukan ahlinya, dan ijma’ ulama tidak membenarkan sikap seperti itu, bahkan secara kenyataan tidak mungkin, karena orang yang bertanya kepada orang yang bukan ahlinya sama saja ia berkata kepadanya:”Kabarkan kepadaku tentang apa yang engkau tidak ketahui! Dan saya akan menyandarkan urusanku kepadamu dalam perkara yang sama-sama kita tidak mengetahuinya."  Tentu orang seperti ini tidak termasuk orang-orang yang berakal, karena jika ia berkata kepadanya: ” Tunjukkan aku ke jalan menuju tempat si anu.“ Sementara ia tahu bahwa orang yang ia tanya sama-sama tidak mengetahuinya, tentu ia dianggap orang gila. Maka urusan syari’at lebih tidak boleh lagi, karena ia berakibat kepada kebinasaan akhirat.” [Lihat Al-Muwafaqaat  (IV/192-193)]
Syaikh Salim berkata: ” Engkau lihat orang yang bodoh itu merasa kenyang dengan ilmu yang tidak diberikan padanya, lalu ia memposisikan dirinya sebagai tempat rujukan fatwa sehingga ia dikuasai oleh rasa ‘ujub, ia pun melecehkan para ulama besar, dan menganggap bodoh fatwa-fatwa mereka, maka ia menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.“ [Lihat Irsyadul Fuhul  (hal 359-360)]

3. Fanatik golongan dan memberi loyalitas tidak di atas al Qur’an dan as Sunnah.
Sebagian orang mendidik pengikutnya untuk memberi loyalitas hanya kepada jama’ahnya tanpa melihat kepada landasan cinta dan benci karena Allah, sehingga melecehkan ulama yang tidak setuju dengan manhaj mereka, bahkan mencibir dan menuduhnya dengan berbagai macam tuduhan, karena pondasi loyalitas dan permusuhan mereka hanya kepada jama’ahnya saja, mengenai mereka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“ Tidak boleh bagi seorangpun menisbatkan diri kepada seorang Syaikh, lalu ia memberikan loyalitas dan permusuhan diatasnya, justru hendaklah ia memberi loyalitas kepada setiap ahli iman yang bertaqwa dari semua ulama. Tidak boleh ia memberi loyalitas yang lebih kepada salah seorang dari mereka, kecuali jika ia mempunyai kelebihan iman dan ketaqwaan. Hendaklah ia mendahulukan orang yang Allah dan Rasul-Nya dahulukan, dan mengutamakan orang yang Allah dan Rasul-Nya utamakan.“ [Lihat Majmu’ Fatawa (XI/512)]
Beliau juga berkata: ”Barang siapa yang menjadikan seseorang sebagai pemimpin siapapun ia, lalu ia memberikan loyalitas dan permusuhan di atasnya dalam perkataan dan perbuatan orang tersebut, maka ia termasuk “Orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.”  (Qs. Ar-Rum: 32).
Dan apabila seseorang bertafaqquh dengan sebuah madzhab seperti pengikut para imam, maka ia tidak boleh menjadikan guru dan teman-temannya sebagai parameter yang ia memberikan loyalitas kepada orang yang sepakat dengannya dan memusuhi orang yang tidak sepakat dengannya.” [Lihat Majmu’ Fatawa (XX/8-9)]

4. Pengaruh pemikiran barat yang kacau.
Kebebasan berfikir dan berekspresi menjadi alasan banyak para pemuda untuk berani berbicara dalam masalah agama dengan dugaan dan rekaan semata, mereka terpengaruh oleh pemikiran barat yang kacau sehingga mereka sangat berani berbicara dalam agama padahal mereka bukan ahlinya, mereka itulah yang disebut oleh Nabi sebagai ruwaibidhah dalam sabdanya :
سَيَأْتِيْ عَلىَ النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ, قِيْلَ : وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ ؟ قَالَ : التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ العَامَّةِ.
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, orang yang dusta dianggap jujur, dan orang jujur dianggap dusta, orang yang berkhianat diberi amanah dan orang yang amanah dianggap pengkhianat, dan akan berbicara Ruwaibidhah." 
Dikatakan: "Apakah Ruwaibidhah itu?"
Beliau menjawab:”Orang bodoh berbicara dalam perkara umum.“ (HR. Ibnu Majah).
Ironisnya, banyak orang berlomba-lomba terjun ke medan dakwah dari kalangan artis dan bintang film, mereka berbicara tentang agama sesuai dengan hawa nafsu dengan keilmuan mereka yang amat dangkal, kemudian diadakan lomba-lomba ceramah terutama bagi anak-anak, sehingga mereka dilatih untuk pandai bicara dengan tanpa ilmu, padahal para ulama terdahulu mendidik anak-anak agar menghasilkan dahulu ilmu yang banyak, menghafal al Qur’an dan hadits dan duduk di majelis-majelis ilmu.

5. Tidak memahami hakikat ulama.
Sebagian orang memandang bahwa yang namanya ulama adalah yang memakai sorban dan gamis, pandai bersilat lidah disertai bahasa arab yang fasih, atau kiyai yang mempunyai pengikut yang banyak yang pintar baca kitab kuning, atau para penceramah yang bisa masuk televisi dan radio.
Ulama yang hakiki adalah ulama yang dalam pemahaman mereka terhadap al-Qur’an dan as Sunnah disertai amaliyah dalam kehidupan sehari-harinya.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: ” Tidak halal bagi seorangpun berfatwa dalam agama Allah kecuali orang yang berilmu tentang kitabullah, nasikh mansukh-nya, muhkam dan mutasyabih-nya, ta’wil dan tanzilnya, makki dan madaninya dan apa yang diinginkan darinya. Kemudian ia mempunyai ilmu yang dalam mengenai hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana ia mengenal al Qur’an. Mempunyai ilmu yang dalam mengenai bahasa Arab, sya’ir-sya’ir arab dan apa yang dibutuhkan untuk memahami al-Qur’an, dan ia mempunyai sikap inshaf (adil) dan sedikit berbicara. Mempunyai keahlian dalam meyikapi perselisihan para ulama. Barang siapa yang memiliki sifat-sifat ini, silahkan ia berbicara tentang ilmu dan berfatwa dalam masalah halal dan haram, dan barang siapa tidak memilikinya maka ia hanya boleh berbicara tentang ilmu namun tidak boleh berfatwa.“ [Lihat Shahih Al-Faqih wal Mutafaqqih (hal. 390)]
Ulama bukanlah orang yang hanya mengikatkan diri pada satu madzhab tidak mau keluar darinya, karena sikap ini disebut oleh para ulama sebagai taqlid, dan taqlid itu bukan ilmu, karena yang namanya ilmu yang berasal dari Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya.
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: ”Definisi ilmu di sisi para ulama adalah, yang engkau yakini dan menjadi jelas bagimu, maka setiap orang yang yakin dan jelas berarti ia telah mengetahuinya. Atas dasar ini orang yang belum sampai kepada keyakinan dimana ia berpendapat hanya sebatas ikut-ikutan saja (taqlid), maka ia tidak berilmu tentangnya.“ [Lihat Jami’ Bayanil 'Ilmi  (II/36-37)]
Imam as-Suyuthi rahimahullah berkata:
إِنَّ الْمُقَلِّدَ لاَ يُسَمَّى عَالِمًا”Sesungguhnya muqallid (orang yang taqlid) tidak dinamai sebagai seorang 'alim.“ [Lihat Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal Maudhu'ah (II/18)]

Disunting dari: Tulisan Abu Yahya Badrussalam dengan sedikit tambahan.

http://www.facebook.com/notes/umu-ruya/langkah-langkah-setan-untuk-menjauhkan-penuntut-ilmu-dari-ulama/213492305344084

Tentang Cermin

Tatkala kudatangi sebuah cermin,


Tampak sesosok yang sudah lama kukenali,


Namun ANEH,


Sesungguhnya aku belum


mengenal siapa yang kulihat.




Tatkala kutatap wajah,hatiku bertanya


apakah wajah ini yang kelak kan bercahaya,


bersinar indah di syurga sana?




Ataukah wajah ini yang akan hangus legam di neraka Jahanam??




Tatkala kutatap mataku,galau hatiku bertanya...


Mata inikah yang akan menatap penuh kelazatan dan kerinduan


menatap Allah,menatap Rasulullah...


menatap kekasih Allah kelak??




Ataukah mata ini yang akan terbeliak.melotot,menganga terburai


menatap neraka jahanam...




Wahai mata,apa gerangan yang kau tatap selama ini??




Tatkala kutatap mulut,apakah mulut ini yang akan


mendesah penuh kerinduan mengucap LAAILAHA ILLALLAH


saat malaikat maut datang menjemput...


ataukah menjadi mulut menganga dengan lidah terjelir dengan


lengking jeritan pilu, yang akan menggugah sendi-sendi setiap pendengar,


ataukah menjadi mulut pemakan buah zaqqum Jahanam, yang getir menghunus penghancur usus...




Apa yang engkau ucapkan wahai mulut yang malang?!


Berapa banyak hari yang remuk dengan pisau kata-katamu yang menghiris tajam,


berapa banyak kata-kata yang manis semanis madu yang engkau ucapkan untuk menipu...?!




Betapa jarang engkau jujur,


betapa langkanya engkau menyebut nama Tuhanmu dengan tulus


betapa jarangnya engkau syahdu memohon agar Tuhanmu mengampuni segala dosa yang telah kau perbuat?!




Tatkala kutatap tubuhku,apakah tubuh ini


yang kelak kan penuh cahaya,bersinar,bersukacita,bercengkerama di syurga sana?


Ataukah tubuh yang akan tercabuk-cabuk hancur mendidih di dalam lahar membara Jahanam,


terpasung tanpa ampun,derita yang takkan pernah berakhir...




Wahai tubuh,


berapa banyak maksiat yang engkau lakukan...?


berapa banyak orang yang engkau dzalimi dengan tubuhmu...?


berapa banyak hambamu hamba-hamba Allah yang lemah


yang engkau tindas dengan kekuatanmu?!




Wahai tubuh,


seperti apakah isi gerangan hatimu?


Apakah isi hatimu sebagus kata-katamu,


atau sebagus daki yang melekat ditubuhmu?


Apakah hatimu seindah penampilanmu


atau sebusuk kotoranmu?!






Betapa berbeda,


apa yang nampak dalam cermin dengan apa yang tersembunyi...


Betapa aku telah tertipu...


Aku tertipu oleh topeng...


Betapa yang kulihat selama ini hanyalah topeng,


betapa pujian yang terhambur hanyalah memuji topeng,


betapa yang indah ternyata hanyalah memuji topeng...




Sedangkan aku,


hanyalah selonggok sampah busuk yang terbungkus...


Aku tertipu...


Aku malu...


Aku tertipu ya Allah...


Allah...! Selamatkanlah aku...

-------------------------------
Sumber: Sahabat Naldi
Semoga bisa menjadi sedikit renungan buat kita....

Selasa, 03 Mei 2011

Sifat-sifat Penghuni Neraka

Sifat-sifat Penghuni Neraka
oleh Mutiara Sunnah pada 30 Januari 2011 jam 16:26
Dalam surat Qaf, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan beberapa sifat penghuni neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَالَ قَرِينُهُ هَذَا مَا لَدَيَّ عَتِيدٌ. أَلْقِيَا فِي جَهَنَّمَ كُلَّ كَفَّارٍ عَنِيدٍ. مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ مُرِيبٍ. الَّذِي جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ فَأَلْقِيَاهُ فِي الْعَذَابِ الشَّدِيدِ

Dan yang menyertai dia berkata: “Inilah yang tersedia pada sisiku telah siap.” Allah berfirman: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.” (Qaf: 23-26)
Dalam ayat-ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa qarin yang menyertai manusia, yakni malaikat yang ditugasi untuk mencacat amal bani Adam, mengatakan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Inilah yang tersedia pada sisiku telah siap.” Yakni orang tersebut dihadapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala oleh malaikat beserta catatan amalnya yang lengkap, tanpa ditambah dan dikurangi, serta siap untuk diberi balasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memerintahkan kepada kedua malaikat-Nya yaitu malaikat yang sebagai saksi dan malaikat yang menggiringnya ke hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.”
Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut terdapat enam sifat orang yang bakal dilemparkan ke dalam Jahannam.
1. Orang yang sangat ingkar: yakni mereka yang sangat kafir, di mana berbagai macam kekafiran mereka lakukan baik berupa perbuatan maupun ucapan. Atau mereka yang kekafiran itu telah menguat dalam qalbunya.
2. Keras kepala: yakni membangkang terhadap kebenaran, menghadapinya dengan kebatilan sementara ia tahu kebenaran itu. Kalaupun kebenaran itu ditawarkan kepadanya, dia tidak mau menerimanya walaupun kebenaran itu begitu jelas. Akibatnya, ia akan banyak berbuat maksiat, berani menerjang larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Sangat menghalangi kebajikan: kebajikan di sini berarti segala macam kebajikan. Seolah-olah dia mencari-cari segala macam kebajikan untuk dia halangi sehingga dia menghalangi segala macam amal baik, dan yang terbesar adalah iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para rasul-Nya, serta menghalangi seseorang untuk berdakwah kepadanya. Ia juga tidak menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, tidak mau berbuat baik, bersilaturahmi, dan bershadaqah. Ia menghalangi dirinya sendiri untuk berjuang dengan harta dan badannya dalam perkara yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Melanggar batas: yakni melanggar batas-batas hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melanggar hak-hak makhluk, sehingga ia berbuat jahat kepada mereka. Yakni, bukan saja dia menghalangi seseorang untuk berbuat kebajikan, namun ia juga berbuat jahat kepadanya. Ini semacam perlakuan orang Quraisy terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka melarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat baik sekaligus mereka berbuat jahat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana ia juga melampaui batas dalam membelanjakan hartanya. Qatadah rahimahullahu menafsirkan: “Yakni melampaui batas dalam bicara, jalan dan segala urusannya.”
5. Lagi ragu-ragu: yakni tertanam dalam dirinya keraguan dan kebimbangan. Demikian juga, ia membuat keraguan pada diri orang lain, baik keraguan dalam hal janji Allah Subhanahu wa Ta’ala ataupun ancaman-Nya, sehingga tiada iman dan kebaikan dalam dirinya.
6. Yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah Subhanahu wa Ta’ala: mencakup semua orang yang menghambakan diri dan menghinakan diri kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Untuk orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala katakan:

فَأَلْقِيَاهُ فِي الْعَذَابِ الشَّدِيدِ

“Maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.”
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَخْرُجُ عُنُقٌ مِنَ النَّارِ يَتَكَلَّمُ يَقُوْلُ: وُكِلْتُ الْيَوْمَ بِثَلَاثَةٍ؛ بِكُلِّ جَبَّارٍ عَنِيْدٍ، وَمَنْ جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ، وَمَنْ قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ فَتَنْطَوِي عَلَيْهِمْ فَتَقْذِفُهُمْ فِيْ غَمَرَاتِ جَهَنَّمِ
Sebuah leher keluar dari neraka, ia bisa berbicara. Ia pun mengatakan: “Pada hari ini aku dipasrahi (menyiksa) tiga golongan manusia: setiap orang yang sombong lagi membangkang, orang yang menjadikan sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama-Nya, dan setiap orang yang membunuh sebuah jiwa bukan karena qishash.” Sehingga leher tersebut melilit mereka dan melemparkan mereka ke dalam dahsyatnya azab jahannam. (HR. Ahmad)